Oleh: Faidah Azuz Sialana
Saling mengukur dalamnya laut yang telah kami pahat
Lalu berebut dengan waktu ‘tuk menulis cerita di pasir
Lutut kami telah tinggal sejarak
Telah sampai di hidungku wangi badannya
Sambil terus menghirupnya, kukatup mata karena kalah bertaut dengannya
Wangi itu menjalari semua ruang tubuhku
Kepalaku telah kuteduhkan di dadanya
Hmhm..sambil ku genggam tak lepas ujung kebayanya
Lalu tiba saat perahu itu datang menghampiri kami
Ku tau kapata terakhir akan segera dinyanyikannya
Karena bunyi suling mulai melengking putus putus
Auw ana’u ee.. terbanglah mengikuti mimpi
Bukalah sayapmu menutupi langit
Telingakan pada semua akan asalmu
Berumahlah di sana meski aku tetap di sini
Aku sedikitpun tak meragukanmu
Karena di tiap malam sejak kau kecil telah kutiup ubun-ubunmu,
untuk nyanyikan alamat di mana ku tanam ari-arimu
Pergilah rebut mimpimu
Aku sedikitpun tak meragukanmu
Karena ku tahu kau tak mampu berpaling dariku
Berlayarlah jauh-jauh selama laut masih berwarna biru
Aku sedikitpun tak meragukanmu
Karena ku yakin kau tak mampu mencungkil ari-arimu di sini,
Di tempat kita duduk..
Mintanggur = Pohon kayu besar mirip beringin yang tumbuh di pinggir pantai
Kapata = Nyanyian dalam bahasa daerah, biasanya mengisahkan kepahlawanan, nasihat, atau cerita tentang asal muasal negeri/kampung.
Auw ana'u ee = anakku
Kapata = Nyanyian dalam bahasa daerah, biasanya mengisahkan kepahlawanan, nasihat, atau cerita tentang asal muasal negeri/kampung.
Auw ana'u ee = anakku
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.