Oleh : Fuad
Mahfud Azuz
(opini Ambon Ekspres, 12 Agustus 2014)
Saya
dan Busra Sialana, sepupu yang selama ini menetap di Jakarta membuat
kesepakatan. Kami akan membawa keluarga masing-masing untuk “menaklukkan” bukit
bersejarah Kapahaha. Tidak ada target muluk. Yang ada hanya dorongan untuk memperkenalkan
pada anak dan istri yang kebetulan berasal dari luar Maluku, bahwa Kapahaha
yang sering mereka dengar melalui pembicaraan kami, atau baca di media,
beginilah alamnya. Terjal, berbatu karang.
Sedang untuk anak-anak kami, ada keinginan kami membangun cinta negri melalui wisata alam berlatar belakang sejarah.
Sedang untuk anak-anak kami, ada keinginan kami membangun cinta negri melalui wisata alam berlatar belakang sejarah.
Ada
beberapa alternatif jalan menuju puncak Kapahaha. Pilihan kami setelah diskusi
dengan Abu Latukau dan Salem Lauselang, sang pemandu, akhirnya diputuskan
melalui jalur Leasusu yang berarti melewati perkebunan cengkeh dan pala milik
Tete Danda (panggilan akrab untuk kakek kami). Jalur ini dianggap paling mudah
didaki.
Hari
itu, Minggu, tepat 7 Syawal 1435 atau 3 Agustus 2014. Pendakianpun dimulai
sekitar jam 14.00. Abu berada di depan. Diikuti Syauqi anak saya yang tertua,
kemudian Ian dan Ami, anak Busra menyusul. Sedang saya menemani Busra dan
istrinya, Titi berjalan perlahan. Ini bukan pendakian mudah untuk kami yang
umur sudah mendekati kepala lima. Keringat mulai membasahi tubuh kami. Tapi
tetap semangat. Sesekali Nampak Titi mengatur napas dan langkah karena tanjakan
atau berada di tepi jurang berbatu karang. Ukuran kami tentu pada Titi, istri
Busra yang asli Bandung.
Sekitar
20 menit, kami akhirnya mencapai pos pertama. Pos ini menurut cerita tetua
Morella, adalah pos pengintai pasukan Kapahaha. Pos ditandai dengan sebuah batu
karang berukuran sekitar 30 x 50 meter dengan tinggi bervariasi antara 10
hingga 20 meter. Ada bagian karang yang menjorok keluar, sehingga menyerupai
teras rumah. Bagian bawahnya ada sebuah gua yang dipenuhi dengan stalaktit dan
stalaknit. Gua ini banyak dihuni kelelawar. Pada stalagtit di depan gua, ada
bentuk yang menyerupai kaki binatang. Menurut penuturan masyarakat Morella
dahulu batu itu berbentuk perempuan dan seekor anjing penjaga. Namun kemudian
dirusak oleh masyarakat sendiri, karena menghindari kepercayaan mistik. Bila
kita berada di pos ini, maka dengan mudah kita melihat ke arah pantai. Mungkin
sebab inilah maka disebut pos pantau pertama. Setelah beristirahan di pos
Leasusu, kami melanjutkan dengan tujuan Air Doa Salamat. Mata air yang tidak
kering walau di musim kering. Airnya sejuk.
Dari
sekian jalan terjal, maka pendakian paling terjal adalah ketika memasuki pintu
utama Kapahaha. Kami harus berpegangan di karang yang berada sebelah kanan. Dan
mendaki perlahan. Karena di sisi kiri, sudah ada jurang sekitar tiga sampai 5
meter. Kiri kanan, karang semua.
Abu
mengomando anak-anak aggar ketika mendaki di tangga di pintu kapahaha tersebut,
tidak boleh melihat ke jurang. Perhatian ke batu. “pegang batu bae-bae. Cek
akang, bila parlu goyang-goyang tampa pegang sebelum batumpu.” (pegang batu
baik-baik. Periksa dengan teliti, goyang batu karangnya sebelum jadikan
tumpuan). Tangga terjal ini akhirnya dapat dilewati dengan baik. Kami tiba di
puncak.
Dari
puncak Kapahaha, saya sempatkan diri melihat ke arah Nandaluhu. Pantai itu
adalah jalan terdekat ke Kapahaha. Dalam kapata dan cerita orang tua, dari
teluk inilah kapal-kapal Belanda menembak Kapahaha dengan meriam.
WISATA SEJARAH
Sepanjang
perjalanan, kami berdiskusi tentang pentingnya mengenalkan anak-anak kami dan
generasi muda pada Kapahaha. Kapahaha bukan sesuatu yang angker. Wisata sejarah
minimal miliki beberapa kriteria; harus ada nilai sejarah yang dapat diperlihatkan.
Harus ada unsur wisata yang menyenangkan, dan harus dapat dinikmati banyak
orang, tidak eksklusif.
Jalur
pendakian juga jadi pertimbangan, pendakian dari mana yang paling aman dan
mudah sehingga banyak orang bisa mencapai puncak Kapahaha. Dasar pertimbangan
ada pada Titi, ibu rumah tangga yang juga adalah PNS di Jakarta. Ia bukan anak
negeri, bukan anak gunung, tapi mampu taklukkan bukit Kapahaha. Kami
berkesimpulan, bila Titi mampu tiba di puncak, berarti karang terjal dan image
yang melekat selama ini, bukan acuan untuk tidak tiba di puncak.
Ketika
pulang ke perkampungan Morella, informasi tentang pendakian kami menjadi topik
cerita ringan. Termasuk dari adik-adik Forum Kajian Sejarah Kapahaha (Forum
pelajar dan mahasiswa Morella) untuk mengatur wisata sejarah bagi
pelajar-mahasiswa Morella “cart”. Wisata bisa memulai dengan mengajak anak-anak
keluarga Morella yang sudah menetap di Ambon.
OBJEK DAN EVEN
Keunggulan
Morella untuk membangun wisata sejarah ada pada dua hal. Pertama, objek bisa
dijangkau. Dan kedua, ada even tahunan yang mendukung untuk selalu dikenang.
Keunggulan ini saya bandingkan karena banyak daerah yang miliki potensi wisata
sejarah, namun terkendala objek. Objek tidak “kuat” karena banyak faktor. Objek
ini makin matang karena even tahunan Pukul Sapu Lidi terus dirayakan tiap 7
Syawal.
Tentu,
kelemahan juga ada. Terutama pada SDM pengelola wisata. Harus diakui, kelemahan
itu secara umum berlaku di Maluku. Penghargaan dan peduli wisata sejarah, belum
menyatu dengan perilaku. Akibatnya, masih sekedar potensi. Morella butuh
beberapa orang pionir untuk membangun wisata sejarah. Cukup beberapa orang.
Yang penting mereka konsisten dan peduli.
Morella,
5 Agustus 2014
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.