Jumat, 09 September 2011

Kemas Pukul Sapu Dengan Icon

Atraksi Pukul Sapu Lidi Negeri Hausihu Morella (foto: FKSB 2011)
Salah satu even parawisata berlatar belakang adat yang kuat bertahan di Maluku adalah perayaan pukul sapu atau pukul manyapu (PS). PS hanya terjadi di dua negeri bertetangga Morella dan Mamala.  Dari dua negeri adat ini pula, kita bisa menelusuri makna tersimpan di balik perayaan.
Sepintas, ritualnya sama. Sama dilakukan pada hari ke 8 Syawal tiap tahun. Sama dilakukan di halaman masjid. Sama dalam waktu pelaksaan, sesudah shalat ashar, sebelum magrib. Dan sama-sama diakui sebagai warisan budaya tetua negeri ratusan tahun lalu.
Kiranya pemikiran ini juga mendasari tawaran beberapa kalangan untuk menyatukan PS dua negeri, kemudian dibuat sebagai perayaan bersama yang didukung penuh oleh Pemda (Maluku Tengah dan Maluku). Namun setiap ide untuk mempersatukan, hampir pasti mendapat sanggahan dari kedua negeri, Morella dan Mamala.  Alasan yang dikemukakan, “ perbedaan latar belakang yang membedakan kami”. 

KAPAHAHA 
Morella, mengangkat latar belakang sejarah perang Kapahaha.  Perang yang berlangsung dari tahun 1637 hingga 1646.  Kapahaha adalah bukit batu terjal yang terdapat di hutan Negeri Morella. Kapahaha adalah benteng terakhir yang jatuh ke pihak Belanda di Pulau Ambon.  Perang Kapahaha berakhir ketika benteng Kapahaha dikuasai Belanda.
Pejuang yang sempat tertangkap dalam penyerbuan itu disiksa sebagai tawanan di Teluk Sawatelu selama tiga bulan. Kapitan Telukabessy sendiri berhasil lolos. Namun ia kemudian menyerahkan diri dan digantung dan dibuang di pantai Namalatu. Sepeninggal Telukabessy, tawanan Kapahaha dibebaskan Belanda pada tanggal 27 Nopember 1664 yang bertepatan dengan bulan Ramadhan. Beberapa tokoh ditahan di Makassar dan Batavia. Sisanya, pulang ke daerah asal. (Maryam Lestaluhu, 1988)
Menurut Kapata Morella, pada perpisahan inilah, kemudian terjadi pukul sapu secara spontan sebagai ungkapan rasa sedih atas perjuangan yang telah berakhir. Perih di badan karena lecutan sapu menjadi perlambang kerasnya perjuangan yang disertai dengan pengorbanan jiwa raga. Kerasnya genggaman serta kuatnya pukulan jadi perlambang tekad kuat untuk tetap menolak semua bentuk penjajahan dan kerjasama dengan Belanda. Usai melakukan pukul sapu, mereka kemudian saling berpelukan, sambil berikrar untuk tetap saling mengingat dan akan bertemu kembali tiap tanggal 7 Syawal. Sejarah Kapahaha inilah yang menjadi latar belakang PS negeri Morella. Sejarah perang Kapahaha ini terus dibaca ulang tiap perayaan dan merupakan pertanda acara puncak PS siap digelar.

NYUALING MATEHU
Lain lagi dengan Mamala, minyak Mamala atau nyualing matehu dijadikan icon. Ketika diketahui bahwa salah satu tiang masjid retak/patah, imam Tuny (Tokoh Agama) bermunajat pada Sang Khalik agar masalah ini terselesaikan. Sesudah mendapat petunjuk melalui mimpi, Imam Tuny kemudian mengoles minyak pada tiang yang retak/patah, kemudian membungkus dengan kain putih. Keesokan hari, retak/patah tersebut sudah tersambung kembali. Dalam mimpinya juga, Imam Tuny mendapat petunjuk bahwa minyak itu dapat digunakan untuk penyembuhan keseleo, patah tulang dll. Khasiat minyak ini (nyualing matehu) kemudian diujicobakan ke tubuh manusia dengan terlebih dahulu dipukul dengan sapu hingga berdarah. Ternyata bekas luka sabetan sapu sembuh hanya dengan olesan nyualing matehu. Keberhasilan ini lalu dirayakan dengan memilih waktu yang tepat, yakni 7 Syawal. (Panduan Pelantikan; 2005)
Proses penyambungan retak/patah tiang dan penyembuhan luka bekas sabetan sapu lidi kemudian menjadikan nyualing matehu sebagai icon dalam perayaan 7 Syawal. Hal ini kita baca pada baliho-baliho milik negeri Mamala yang bertebaran di Kota Ambon, yang mengedepankan perlu pelestarian nyualing matehu sebagai warisan budaya. 

ICON
Icon atau symbol adalah hal penting dalam mengemas satu iven. Masih segar memori kita ketika pemerintah mengkampanyekan Bali sebagai paradise island. Atau Jogja menjadikan Malioboro sebagai salah satu icon parawisata. Di Maluku, kita juga menjual Banda sebagai icon wisata bahari melalui Sail Banda dll.
Lalu dalam mengemas PS, Morella dan Mamala juga butuh icon yang “kuat” dan terus menerus diangkat sehingga masyarakat mengenal pukul sapu dengan icon tersebut.  Mamala sudah tegas menjual icon nyualing matehu, minyak mamala. Tidak afdhal rasanya seorang pengunjung  pulang tanpa membawa minyak tersebut. Bahkan seorang peneliti Inggris Dr. Herbal Thomas, tahun 2008 perlu berjibaku dengan anak Mamala di arena PS  untuk buktikan khasiatnya (Ameks, 2008).
Teman saya seorang perwira yang pernah pertugas di Kodam Pattimura hanya meminta oleh-oleh nyualing matehu bila saya ke Jakarta. Dia justru kaget ketika saya cerita tentang nama Taman Makam Pahlawan Kapahaha yang diambil dari nama bukit benteng Kapahaha di Morella.  Dia makin serius merespon ketika pembicaraan menyinggung Saloka Kodam Pattimura,  Lawa Mena Haulala. Karena Lawa Mena Haulala adalah semboyan perjuangan Kapitan Telukabessy dari Kapahaha yang untuk pertama kali digunakan tahun 1965, namun jarang kita dapati anggota TNI memahami asal semboyan tersebut.
Bagi Negeri Morella mengemas icon Kapahaha untuk iven PS adalah penting. Karena di samping melaksanakan iven adat secara turun temurun,  PS juga memberikan pesan moral kuat tentang pentingnya sikap tegas dalam perjuangan.  Pentingnya membangun  silaturrahmi dengan anak cucu para pejuang Kapahaha yang berasal dari Wawane, Ternate, Seram, Tuban, Makassar dll.
Mengemas iven dengan icon yang kuat, bukanlah hal mudah. Butuh proses panjang dan terus menerus.  Laksana seorang pelari maraton, ia harus memiliki tenaga dan napas panjang serta konsisten menjaga. Begitupun di kedua Negeri, Morella dan Mamala. Mengemas icon Kapahaha dan nyualing matehu butuh semangat dan napas “pelari marathon”.


Fuad Mahfud Azuz
Durian Patah, 4 September 2011

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger