Rabu, 15 Juni 2011

Pohon Yang Terabaikan

Oleh:Fahmi Sialana

Suatu hari pada masa kecilku, seperti layaknya anak kecil yang sedang dalam masa pertumbuhan, aku ingin mencari nuansa baru, mengenal dunia yang sedang aku jalani lalu aku berjalan disepanjang pantai.menelusuri pantai. Sampailah aku di suatu tempat, dibawah pohon Mintanggur yang sudah tua dan sudah teramputasi. Aku duduk sambil menikmati panorama alam nan indah. Sungguh duniaku seperti fatamorgana.

Dari kejauhan di ufuk barat tampak tanjung sial, di seberangnya tampak semenanjung Jazirah Leihitu. Lalu aku berbalik arah memandang tanjung setan, tanjung yang kaya akan pemandangan alam bawah laut beserta biota-biota lautnya, tanjung yang menjadi saksi bisu patriotisme nenek moyangku dalam menghadapi para agresor dari Eropa.

Didepan mata tampak hamparan lautan yang luas dan teduh, seteduh semua orang yang memandangnya. Tak ada ombak,aku sangat menikmati pemandangan itu. Terdengar tiupan angin sepoi-sepoi menggetarkan daun-daun Mintanggur, begitu menggugah sanubariku.

Aku naik dan duduk diatas sebatang pohon mintanggur yang menjulang ke laut. Kudengar kawanan burung kasturi yang sudah hampir punah berkicau tak karuan di ujung ranting pohon besar yang sebagian besar daun-daunnya sudah gugur yang tak jauh dari pantai . Seakan-akan mereka sedang marah-marah melihat dadesu atau perangkap burung yang dipasang oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Sambil sesekali memandangi langit. Tampak burung camar terbang melayang dan bersahutan dibalik awan. Sungguh dunia mereka berbeda.

Lalu aku memandang kebawah, memandangi jernihnya air laut. Tampak ikan-ikan kecil bermain diantara bebatuan dan rumput-rumput laut. Sesekali ikan-ikan itu memandang kearahku, kemudian pergi lagi. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh ikan-ikan itu. Tak lama kemudian datang kawanan ikan-ikan tadi dan tiba-tiba “PLOK”, buah mintanggur jatuh menembus permukaan air, membentuk gelombang-gelombang kecil, dan tiba-tiba kawanan ikan itupun kalang kabut lari kesana kemari.

Hatiku lalu bertanya-tanya, ada apa dengan ikan ikan itu dan buah mintanggur tadi? apakah ikan-ikan itu menjadi trauma akibat selalu dihantui gelegar BOM IKAN yang telah meluluhlantahkan dunia dan generasi-generasi mereka? Lalu apakah jatuhnya buah mintanggur tadi ibarat air mata yang jatuh menangisi nasibnya yang tidak berdaya, menunggu untuk dimutilasi oleh tangan-tangan manusia yang beralatkan mesin Chainsaw?

Tiba-tiba tampak dari kejauhan terdengar deru mesin pemotonng pohon/Chainsaw meraung–raung membelah kesunyian hutan belantara. Aku kembali teringat akan jatuhnya buah mintanggur tadi, mungkinkah dia sedang menangisi ketidak berdayaannya akibat sering mendengar suara mesin pemotonng pohon tadi?......

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Itulah sekilas kisah yang saya alami saat masa kecilku. Sebagai anak Negeri Morella saya sangat prihatin atas tindakan arogan masyarakat yang sangat tidak menghargai buah tangan nenek moyangnya.

Menurut cerita orang tua-tua dulu di sepanjang pantai morella, berjejeran pohon mintanggur dan seandainya orang-orang dengan perahu mau ke hutan, apalagi dimusim panas, orang akan mendayung di bawah pohon mintanggur untuk menghindari terik matahari. Tapi kenyataan yang ada sekarang, sepanjang pantai yang dulu ditumbuhi pohon mintanggur sudah sangat gersang. Abrasi pantai sudah semakin jauh. Padahal pohon mintanggur merupakan pohon yang sangat kokoh menahan terpaan ombak.

Saya kagum dengan pemikiran nenek moyang dahulu. Daya fikir mereka telah menembus ruang batas dan waktu. Penebangan pohon secara liar bukan saja terjadi ditengah hutan tetapi juga terjadi di sepanjang pantai. Hamparan hijau pohon mintanggur telah hilang, yang ada hanya batang-batang kayu mintanggur kering yang sudah teramputasi, yang jauh dari pantai akibat abrasi. Lalu apakah kita sebagai anak cucu hanya tinggal diam melihat ini semua?

Lalu seandainya pada masa anak cucu kita nanti, cadangan minyak bumi telah habis, apa yang bisa mereka gunakan sebagai bahan bakar penerang rumah? Pada saat itulah mereka akan kembali mengingat akan cerita orang tua mereka tentang pohon yang pernah menjadi andalan nenek moyang mereka.

Dulu minyak tanah sangat terbatas dan mahal lagi pula sulit didapat. Karena itu orang tua-tua dulu menggunakan buah mintanggur sebagai obor/lampu penerang rumah. Dengan cara: Biji dari buahnya digoreng sampai warnanya berubah menjadi merah tua, kemudian ditusuk dengan lidi daun sagu. Satu tusukan bisa menyala hingga semalam suntuk yang hanya terdiri dari 20-30 biji Mintanggur.

Karena pohon mintanggur begitu bermanfaat maka untuk melestarikannya dibuatlah sasi mintanggur, selain sasi kelapa, sasi laut, sasi pala dan sasi hutan lainnya.

Kita bisa berimajinasi untuk mengelompokkan generasi muda dalam tiga kelompok Yaitu: (1) Mereka yang tergerak untuk menghadirkan solusi berbagai problema masyarakat. (2) Mereka yang diam saja dan tak peduli dengan beragam problema itu. (3) Mereka yang menjadi bagian dari problema itu. Bagaimana kita melihat fenomena yang ada? Apakah harus tetap menjadi generasi kelompok kedua? Tentunya tidak, kita seharusnya menjadi bagian dari kelompok yang pertama, agar tercipta kerja sama untuk menanam dan melestarikan pohon Mintanggur.

Sebagian besar wilayah di sepanjang pantai Negeri Morella berpotensi sebagai tempat wisata. Beberapa diantaranya memiliki keindahan dan keunikan pohon Mintanggur yang tidak dapat ditemukan di tempat lain. Misalnya di PANTAI LETAN, lokasi ini masih terdapat pohon Mintanggur yang terawat dengan baik.


Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger