Jumat, 09 September 2011

Achmad Leikawa – Kapitan Telukabessy

Baju perang milik Kapitan Telukabessy yang masih tersimpan
di rumah tua marga Leikawa (foto: FKSB 2006).

Nama aslinya adalah Achmad Leikawa, anak dari Syekh Barainela  marga Leikawa. Achmad leikawa dilahirkan ditengah-tengah rumah leikawa di Negeri Kapahaha. Ibunya bernama Nyai Luhu berasal dari Huamual. Pada usia 3 tahun ayahnya meninggal dunia, sehingga ia diasuh oleh kakeknya dengan memberikan ilmu agama dan ilmu kapitan.  Sejak kecil Achmad Leikawa sudah menunjukkan sikap ksatria dan pemberani. Ia selalu menggiatkan kawan-kawanya berlatih siasat perang, lomba mendaki, sepak betis, loncat gaba-gaba dan pertandingan sapu lidi.

          Kira-kira pada tahun 1614 M sebuah kapal portugis berlabuh dipantai Hitu, Achmad Leikawa mencoba ilmu yang diajar oleh orang tuanya dengan menyelam ke dasar laut sambil menyerupai seekor ikan dan membawa sebilah pahat dan hamar untuk melubangi kapal tersebut. Karena kapal bergerak, awak kapal memeriksa kapal dan hanya menemukan seekor ikan. Kapal akhirnya tenggelam, para awak mencari jalan untuk menyelematkan diri, dan nakhoda kapal itu diculik kemudian dibunuh, kepalanya dipancung dan diantarkan ke Benteng Kapahaha kemudian dipertontonkan didepan Baeleo Tomasiwalima. Pada saat itu malesi-malesi di Benteng Kapahaha sepakat mengangkat Ahmad Leikawa sebagai kapitan muda dan orang terdepan di Benteng Kapahaha. Pada tahun-tahun itu timbul perang Nusaniwe di jazirah Leitimur, Telukabessy diutus sebagai pimpinan bersama Lekalahabesy, Tuhepopu dan Tumbessi masing-masing dari marga Leikawa, Ollong, Latukau dan Wakan. Yang mengutus ini ialah empat perdana tanah Hitu, untuk membantu empat perdana Nusaniwe, yaitu Patilupa, Latuhalat, Lisakota dan Patinaila. Ketika kekuasaan Empat perdana dihapuskan dengan jatuhnya benteng Wawane melalui instruksi Gubernur VOC Gerard Demmer, maka dibenteng Kapahaha dibentuk sebuah dewan atau lembaga adat yang bernama Saliwangi dan berfungsi sebagai pengganti empat perdana.

          Dalam stuktur lembaga adat saliwangi Telukabessy menempati urutan ke sepuluh yang menangani urusan pertahananan dan Keamanan. Karena VOC memusatkan perhatian untuk menumpas pertahanan Benteng Wawane dan jazirah Huamual, maka pertahanan Benteng Kapahaha diperkuat oleh Telukabessy dan seluruh rakyatnya. Pada tanggal 27 Desember 1637 disaat Kapitan Kakiali di asingkan oleh VOC, Telukabessy mengumumkan perang terhadap Belanda.

          Pada tahun 1643, beberapa benteng perlawanan rakyat telah dikalahkan oleh Belanda termasuk benteng Wawane. Maka Telukabessy mengambil 2 kebijakan.
  1. Mengadakan suatu pertemuan yang dihadiri oleh 13 Kapitan dari selurjuh daerah yang tadinya berjuang secara terpisah dalam bentuk satuan yang diberi nama SIWA LIMA dan pertemuan itu pula  mengukuhkan Telukabessy sebagai Kapitan Besar dengan pusat perjuangan di Benteng Kapahaha.
  2. Pada pertemuan yang dimaksud juga ditetapkan suatu badan pemerintahan mencakup daerah Siwa Lima yang terangkum dalam wadah beserta simbol SOLE PALI HANU SOUHATU.

Pada saat-saat itu Belanda mendirikan markasnya di teluk Telepuan (Sawa Telu) yang dipimpin oleh Jacob Verheiden dan Frans Lindard dan Gerard Demmer sebagai Gubernur di Ambon. Kapitan Telukabessy mengumumkan perang melawan Belanda dengan semboyan kepada rakyatnya Lana mena hiti hala, lisa haulala – Maju terus pantang mundur dengan semangat berapi-api. Kapitan Telukabessy (Achmad Leikawa) membakar semangat rakyat dengan kata-kata penyemangat antara lain Kakula seli eka kula lala- Kemerdekaan hanya dapat ditebus dengan darah. Karena kita telah lewati genggaman portugis, kita sedang berhadapan dengan Belanda. Patia sou asu, patia sou pisu- terlepas dari mulut anjing, tertelan pada mulut ular, Maksudnya bebas dari belenggu portugis, terjajah dengan Belanda.

Perang Kapahaha berlangsung selama 9 tahun yaitu terjadi antara tahun 1637 – 1646. Dalam kapata disebutkan Kupa ai Kapahaha nala nale siwa yaitu sembilan tahun lamanya. Dalam catatan Rumphius yang diterjemahkan : Karena Telukabessy telah umum perang pada tanggal 27 Desember 1637 itu, maka putusan pembesar Belanda agar Kapahaha harus direbut dengan kekerasan. Saat itu gubernur Demmer memberangkatkan 3 buah kapal dan 35 buah kora-kora pada tanggal 13 april berpangkalan di teluk telepuan atau sawatelu. Dan markas mereka bertempat disitu, karena didepan Kapahaha tidak ada tempat mendarat sebab itu sepanjang pantainya tebing-tebing yang curam dan pantai pasirnya sangat sempit diantara batu-batu karang. Waktu itu Jacob Verheiden dengan 210 serdadu matrosnya diberangkatkan dari mamala untuk menyerbu dari belakang benteng Kapahaha, tapi tak ada petunjuk jalan, maka tak berhasil.

          Karena kokohnya pertahanan di Benteng Kapahaha sehingga sangat sukar diterobos oleh pasukan Belanda (VOC). Namun Belanda berhasil menangkap Yata Pori seorang wanita staf penyelidik Kapitan Telukabessy. Pori ditodong dan diberi sekarung beras yang telah dilubangi kemudian dibebaskan. Saat kembali ke Benteng Kapahaha beras  yang jatuh menjadi petunjuk jalan bagi pasukan Belanda untuk masuk ke Benteng Kapahaha.

          Pada pagi hari 25 juli 1646 Pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Frans Leindard telah berhasil memasuki benteng Kapahaha. Perang berkobar dengan hebat. Dalam kapata diceritakan Letesi sarele elya Kapahaha......nala puti hee hale fajar heelia. Kapal-kapal VOC  menembakkan meriamnya ke arah benteng. Dari belakang Frans Leindard dengan pasukannya melancarkan tembakan pula.

          Saat itu Kapitan Telukabesi memberikia instruksi kepada penghuni Kapahaha yang tidak memegang senjata untuk mencari perlindungan di gua-gua. Dalam Kapata dijelaskan Nunu yambale seli eka pale mahu. Dan sebagian penduduk mengungsi ke Lataela dan yalo uli- Lumai nasi waa elya Lataela lumai nasi waa elya Yalo Uli. Pasukan Kapahaha dan pasukan bantuan makasar yang dipimpin oleh Karaeng Tulis, Karaeng Jipang dan Daeng Mangkapa terus melakukan perlawanan. Pertempuran berlangsung dua hari dari tgl 25-27 Juli. Darah para pejuang telah membasahi negerinya menambah semangat juang pasukan Kapahaha yang bertahan mati-matian, Lisa pasalita nitai rula uli rakula kapa-kapa- korbankan jiwa kita kampung halaman kita demi kemerdekaan. Elia kapahaha lia putu mahalasa- Benteng Kapahaha telah menjadi lautan api. Nahu mata waya bumi yane rasa-mereka bersedih bercucuran air mata jatuh ke Bumi. Pada pertempuran ditanggal 27 Juli  1646 istri Kapitan Telukabessy – Putijah Leikawa Van Derhagen - gugur menjadi Bunga Bangsa. Sedangkan Kapitan Telukabesy selamat dan diamankan oleh Kapitan Patinama, seorang pembantu kapitan Mahubesy. Mereka melalui gunung lataela dan beristirahat di benteng Alaka pulau Haruku. Benteng Kapahaha berhasil direbut oleh Pasukan Belanda, para malesi dan kapitan yang masih hidup beserta rakyat Kapahaha ditawan oleh pihak Belanda.

          Karena rakyat ditawan dan dijadikan sandera maka Kapitan Telukabesi menyerahkan diri sebagai tembusan bagi rakyatnya. Pada tanggal 3 September 1646 Kapitan Telukabessy dijatuhi hukuman  mati oleh Belanda. Sedangkan para kapitan dan malesi yang ditawan dibebas pada tanggal 27 oktober 1646. Sebelum menemui ajalnya ditiang gantungan Kapitan Telukabessy memberikan pesan:

Atumu tapulu himabuku peia maahunia lisa Kapahaha hinia
Kukirimkan sanjungan hormat untuk kampung halamanku serta pejuang-pejuang Kapahaha yang tercinta.
Pamasun Ina Luhu runa yana walia
Ibuku Ina Luhu dan semua keluargaku kupersembahkan keresaanmu
Nusai kakiela kapa lima kapa yai
Tetap bertalian kemerdekaan bangsa dan tanah air serta setia kepada rakyat
Meu rula molo sahi yana walia
Biar korban jiwa dan dilenyapkan bakal ada generasi mendatang.
          Kini perang Kapahaha telah berakhir tapi semangat Kapitan Telukabessi akan tetap terjaga di hati Telukabessy-telukabessy muda.





FKSB 2011

Negeri Lama “IYAL ULY” Morella

Bekas Pondasi Masjid di Iyal Uli (foto: FKSB 2006)
Iyal Uly merupakan salah satu negeri lama di Negeri Morella yang dikenal sebagai pusat keagamaan, dan letaknya  ± 2,5 km ke arah selatan Negeri Morella.

Negeri Morella terbagi dalam 3 soa,  masing-masing terdiri dari beberapa rumah tau dan dipimpin  oleh seorang  Kepala Soa. pembagian mata rumah tau untuk setiap soa berdasarkan asal negeri lama salah satunya adalah negeri lama Iyal Uly.
Soa Iyal Uly  atau biasa disebut Soa Hatalesy terdiri atas lima marga yaitu Tawainlatu, Latulanit, Wakang, Lauselang dan Pical dengan kepala soa disebut Ela Hatumena dari marga Tawainlatu.

Negeri Morella sebagai satu Negeri Adat yang terletak di daratan jazirah leihitu memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang sangat menarik untuk dikaji, salah satunya  adalah dari sudut pandang perkembangan islam. Negeri Morella adalah salah satau daerah penyebaran islam di wilayah jazirah leihitu, hal ini terbukti dengan adanya peninggalan-peninggalan peradaban islam dahulu kala yang masih dapat ditemukan sampai saat ini.

Masuknya agama islam di Negeri Morella dimulai sejak abad ke-8 M yang dibawakan oleh penyiar islam dari timur tengah. Karena lepas dari percaturan politik yang terjadi pada zaman mu’awiyah di timur tengah, para mubaligh telah keluar membuka ekspansi dakwahnya, baik yang terpancar melalui gaungnya kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara maupun dinasti Tang di Negeri Cina.

Pesatnya perkembangan islam di Negeri Morella pada waktu itu, menjadikan masyarakatnya yang religius dan taat beribadah. pada saat terjadi perlawanan terhadap bangsa kolonial Belanda di Benteng Kapahaha, semangat perlawanan yang dipimpin oleh Kapitan Telukabessy (Ahmad Leikawa) pada waktu itu sangat berapi-api karena dipengaruhi oleh ajaran jihad fi sabilillah yaitu jihad di jalan Allah melawan para kaum kafir (Belanda), hal ini sebagaimana yang diceritakan  oleh Imam Rijali dalam Hikayat Tanah Hitu.

Sementara itu, karna Iyal Uly sebagai pusat keagamaan maka sampai saat ini di Negeri Morella para pengrus masjid atau dalam istilah masyarakat Negeri Morella disebut “Parenta” seperti imam, khatib, modin dsb, adalah orang-orang dari keturunan leluhur yang pernah tinggal di Negeri lama Iyal Uly yakni  salah satunya adalah marga wakang yang dijuluki dengan sebutan Pesy  yaitu orang yang menduduki jabatan tertinggi di mesjid (penguasa mesjid atau pengarah pengurus mesjd), dan Latulanit / Lauselang sebagai imam dan khatib.
Jejak perkembangan islam di Iyal Uly sebagai pusat keagamaan pada masa itu masih dapat ditemukan sampai saat ini yaitu berupa pondasi masjid tua Iyal Uly dan “halwat” yaitu tempat yang digunakan oleh para penyiar islam untuk meminta petunjuk Allah. selain itu, beberapa mushaf al-qur’an tua yang ditulis dengan tangan juga masih dapat ditemukan sampai sekarang.

Peninggalan-peninggalan  tersebut sampai saat ini memang masih dapat temukan namun kondisinya kian hari semakin memprihatinkan. Lingkungan yang kurang menudukung baik dari fakor alam maupun manusia membuat benda-benda tersebut hampir punah. Hal ini tentunya sangat disayangkan  mengingat tingginya nilai historis yang dimilikinya. Sampai saat ini memang belum ada langkah-langkah penanganan khusus dari pihak-pihak terkait utamanya pemerintah terhadap benda-benda bersejarah tersebut, meskipun demikian langkah-langkah perawatan seadanya sampai kini masih tetap dilakukan oleh masyarakat meskipun hal itu tidak terlalu maksimal mengingat keadaan masyarakat yang serba terbatas.

Harapan kita semoga saja kesadaran semua pihak untuk tetap melestarikan benda-benda bersejarah tersebut tidak pudar dimakan zaman, agar ia akan selalau bercerita kepada generasi mendatang atas perjuangan dan pengorbanan leluhur serta spirit islam yang pernah membangkitkan negeri ini. amin.


FKSB 2011

Prosesi Adat Pernikahan di Negeri Morella

Seperti biasa proses pernikahan masyarakat muslim pada umumnya di awali dengan proses peminangan, begitu juga dengan Negeri Morella. 

PEMINANGAN
Di Negeri Morella Peminangan di laksanakan atas persetujuan dari kedua belapihak terlebih dahulu yang di hadiri oleh paman dan bibi dari kedua belapihak sebanyak 12 orang yang terdiri dari 6 orang  dari pihak laki-laki (3 paman dan 3 bibi) demikian juga dari pihak perempuan, sekaligus dengan perundingan untuk penetapan tanggal pernikahan dan penentuan saudara  kawin dan saudara makan telur.
Saudara kaweng adalah seorang laki-laki pendamping pengantin yang memiliki hubungan keluarga dengan mempelai perempuan dan biasanya di panggil oleh pengantin laki-laki dengan sebutan kauu dan di panggil pengantin perempuan dengan sebutan le’uu.
Saudara makan telur adalah seorang perempuan yang juga memiliki hubungan keluarga dengan mempelai laki-laki. Kemudian calon mempelai perempuan di antar kerumah pihak laki-laki 1 minggu sebelum hari pernikahan, dengan tujuan agar calon mempelai perempuan mengenal secara keseluruhan silsilah keluarga pihak laki- laki atau dalam kata lain perkenalan dengan seluruh anggota keluarga,biasanya pelaksanaannya di sore hari sekitar jam 4 sore ( matahari masuk).  akan tetapi sebelum keluar dari rumah atau kediyaman mempelai perempuan di adakan pernikahan siri terlebih dahulu atau dalam bahasa negeri morella di sebut nikah spele yang bertempat di kediyaman calon mempelai perempuan dengan maksud untuk mengesahkan hubungan kedua mempelai.



PERSIAPAN RESEPSI
Sebelum ijab qabul di laksanakan terlebih dahulu kedua calon mempelai beserta kedua pendamping di kembalikan ke rumah pihak perempuan untuk persiapan resepsi pernikahannya , kemudian di hadiri oleh penghulu guna untuk mengambil wali nikah dan memastikan kesiapan kedua bela pihak terkait.

ARUDENDANG
Arudendang adalah suatu jenis tradisi/ adat yang di laksanakan pada saat pengantaran penganting ke lokasi resepsi pernikahan dengan berjalan kaki dan di iringi nyanyian-nyanyian adat dengan musik tradisional yang hanya menggunakan rebana , sekaligus dengan mebawakan sirih pinang.
Sebelum penganting keluar dari rumah di adakan beberapa prosesi adat terlebih dahulu yaitu :
  • Pengantin perempuan membasuh ( membersihkan ) kaki pendamping laki-laki atau biasa di sebut saudara   kaweng
  • Dilakukan isyarat dengan memasukan selempang kain ke kepala pengantin perempuan atau biasa di sebut lahat yang di lakukan oleh biang dengan maksud agar pengantin keluar dengan suci dan bersih serta terhalang dari hal-hal buruk.
IJAB QABUL
Adapun mereka yang terlibat langsung dalam proses ijab qabul adalah:
  • Kedua mempelai
  • Saudara kaweng dan saudari makan telur
  • Penghulu
  • Wali nikah
  • Saksi- saksi
  • Hosong, Pesy dan Uka Hata  (4 rumah tau Guru)
  • Tuhe, Meten Hiti

Sebelum ijab qabul di laksanakan terlebih dahulu penghulu mengumumkan jumlah mas kawin dan pemegang khotbah.
  • Proses jalannya acara nikah :
  • Ijab qabul
  • Penyerahan buku nikah
  • Jabat tangan
Kedua mempelai berjabat tangan dengan orang-orang yang terlibat dalam proses ijab qabul.

ACARA MALAM
Setelah selesai semua acara resepsi pernikahan ( ijab qabul ), di malam harinya di adakan makan bersama yang berupa makan telur oleh pengantin perempuan dan saudari makan telurnya. Untuk telur yang di makan adalah telur yang di masak (di goreng) oleh biang dan (bukan orang lain selain biang) dan hanya dia sendiri yang berada pada lokasi pemasakannya, Untuk hasil gorengan telurnya menurut kepercayaan masyrakat morella bahwa jika keadaan telur ketika di goreng mengembang maka berarti ada keturunan dalam keluarganya namun jika tidak berarti sebaliknya akan tetapi hasil gorengan  itu di rahasiakan dan tidak di beritahukan kepada siapapun karna di hawatirkan akan menimbulkan problema dalam rumah tangganya.


FKSB 2011

Kemas Pukul Sapu Dengan Icon

Atraksi Pukul Sapu Lidi Negeri Hausihu Morella (foto: FKSB 2011)
Salah satu even parawisata berlatar belakang adat yang kuat bertahan di Maluku adalah perayaan pukul sapu atau pukul manyapu (PS). PS hanya terjadi di dua negeri bertetangga Morella dan Mamala.  Dari dua negeri adat ini pula, kita bisa menelusuri makna tersimpan di balik perayaan.
Sepintas, ritualnya sama. Sama dilakukan pada hari ke 8 Syawal tiap tahun. Sama dilakukan di halaman masjid. Sama dalam waktu pelaksaan, sesudah shalat ashar, sebelum magrib. Dan sama-sama diakui sebagai warisan budaya tetua negeri ratusan tahun lalu.
Kiranya pemikiran ini juga mendasari tawaran beberapa kalangan untuk menyatukan PS dua negeri, kemudian dibuat sebagai perayaan bersama yang didukung penuh oleh Pemda (Maluku Tengah dan Maluku). Namun setiap ide untuk mempersatukan, hampir pasti mendapat sanggahan dari kedua negeri, Morella dan Mamala.  Alasan yang dikemukakan, “ perbedaan latar belakang yang membedakan kami”. 

KAPAHAHA 
Morella, mengangkat latar belakang sejarah perang Kapahaha.  Perang yang berlangsung dari tahun 1637 hingga 1646.  Kapahaha adalah bukit batu terjal yang terdapat di hutan Negeri Morella. Kapahaha adalah benteng terakhir yang jatuh ke pihak Belanda di Pulau Ambon.  Perang Kapahaha berakhir ketika benteng Kapahaha dikuasai Belanda.
Pejuang yang sempat tertangkap dalam penyerbuan itu disiksa sebagai tawanan di Teluk Sawatelu selama tiga bulan. Kapitan Telukabessy sendiri berhasil lolos. Namun ia kemudian menyerahkan diri dan digantung dan dibuang di pantai Namalatu. Sepeninggal Telukabessy, tawanan Kapahaha dibebaskan Belanda pada tanggal 27 Nopember 1664 yang bertepatan dengan bulan Ramadhan. Beberapa tokoh ditahan di Makassar dan Batavia. Sisanya, pulang ke daerah asal. (Maryam Lestaluhu, 1988)
Menurut Kapata Morella, pada perpisahan inilah, kemudian terjadi pukul sapu secara spontan sebagai ungkapan rasa sedih atas perjuangan yang telah berakhir. Perih di badan karena lecutan sapu menjadi perlambang kerasnya perjuangan yang disertai dengan pengorbanan jiwa raga. Kerasnya genggaman serta kuatnya pukulan jadi perlambang tekad kuat untuk tetap menolak semua bentuk penjajahan dan kerjasama dengan Belanda. Usai melakukan pukul sapu, mereka kemudian saling berpelukan, sambil berikrar untuk tetap saling mengingat dan akan bertemu kembali tiap tanggal 7 Syawal. Sejarah Kapahaha inilah yang menjadi latar belakang PS negeri Morella. Sejarah perang Kapahaha ini terus dibaca ulang tiap perayaan dan merupakan pertanda acara puncak PS siap digelar.

NYUALING MATEHU
Lain lagi dengan Mamala, minyak Mamala atau nyualing matehu dijadikan icon. Ketika diketahui bahwa salah satu tiang masjid retak/patah, imam Tuny (Tokoh Agama) bermunajat pada Sang Khalik agar masalah ini terselesaikan. Sesudah mendapat petunjuk melalui mimpi, Imam Tuny kemudian mengoles minyak pada tiang yang retak/patah, kemudian membungkus dengan kain putih. Keesokan hari, retak/patah tersebut sudah tersambung kembali. Dalam mimpinya juga, Imam Tuny mendapat petunjuk bahwa minyak itu dapat digunakan untuk penyembuhan keseleo, patah tulang dll. Khasiat minyak ini (nyualing matehu) kemudian diujicobakan ke tubuh manusia dengan terlebih dahulu dipukul dengan sapu hingga berdarah. Ternyata bekas luka sabetan sapu sembuh hanya dengan olesan nyualing matehu. Keberhasilan ini lalu dirayakan dengan memilih waktu yang tepat, yakni 7 Syawal. (Panduan Pelantikan; 2005)
Proses penyambungan retak/patah tiang dan penyembuhan luka bekas sabetan sapu lidi kemudian menjadikan nyualing matehu sebagai icon dalam perayaan 7 Syawal. Hal ini kita baca pada baliho-baliho milik negeri Mamala yang bertebaran di Kota Ambon, yang mengedepankan perlu pelestarian nyualing matehu sebagai warisan budaya. 

ICON
Icon atau symbol adalah hal penting dalam mengemas satu iven. Masih segar memori kita ketika pemerintah mengkampanyekan Bali sebagai paradise island. Atau Jogja menjadikan Malioboro sebagai salah satu icon parawisata. Di Maluku, kita juga menjual Banda sebagai icon wisata bahari melalui Sail Banda dll.
Lalu dalam mengemas PS, Morella dan Mamala juga butuh icon yang “kuat” dan terus menerus diangkat sehingga masyarakat mengenal pukul sapu dengan icon tersebut.  Mamala sudah tegas menjual icon nyualing matehu, minyak mamala. Tidak afdhal rasanya seorang pengunjung  pulang tanpa membawa minyak tersebut. Bahkan seorang peneliti Inggris Dr. Herbal Thomas, tahun 2008 perlu berjibaku dengan anak Mamala di arena PS  untuk buktikan khasiatnya (Ameks, 2008).
Teman saya seorang perwira yang pernah pertugas di Kodam Pattimura hanya meminta oleh-oleh nyualing matehu bila saya ke Jakarta. Dia justru kaget ketika saya cerita tentang nama Taman Makam Pahlawan Kapahaha yang diambil dari nama bukit benteng Kapahaha di Morella.  Dia makin serius merespon ketika pembicaraan menyinggung Saloka Kodam Pattimura,  Lawa Mena Haulala. Karena Lawa Mena Haulala adalah semboyan perjuangan Kapitan Telukabessy dari Kapahaha yang untuk pertama kali digunakan tahun 1965, namun jarang kita dapati anggota TNI memahami asal semboyan tersebut.
Bagi Negeri Morella mengemas icon Kapahaha untuk iven PS adalah penting. Karena di samping melaksanakan iven adat secara turun temurun,  PS juga memberikan pesan moral kuat tentang pentingnya sikap tegas dalam perjuangan.  Pentingnya membangun  silaturrahmi dengan anak cucu para pejuang Kapahaha yang berasal dari Wawane, Ternate, Seram, Tuban, Makassar dll.
Mengemas iven dengan icon yang kuat, bukanlah hal mudah. Butuh proses panjang dan terus menerus.  Laksana seorang pelari maraton, ia harus memiliki tenaga dan napas panjang serta konsisten menjaga. Begitupun di kedua Negeri, Morella dan Mamala. Mengemas icon Kapahaha dan nyualing matehu butuh semangat dan napas “pelari marathon”.


Fuad Mahfud Azuz
Durian Patah, 4 September 2011

Di Balik Pukul Sapu Lidi Morella


Atraksi Pukul Sapu Lidi Negeri Hausihu Morella (foto: FKSB 2011)
“Apa alasan masyarakat Morella mempertahankan Pukul Sapu Lidi ? Pertanyaan itu kemarin kembali diajukan seorang wartawan yang saya dampingi mengambil sejumlah bahan untuk dipublikasi di Morella. Pertanyaan yang sama tiap tahun diajukan pejabat, wartawan bahkan pengunjung yang sudah berulang-ulang mengikuti prosesi atraksi pukul sapu Morella. Salah seorang penanya adalah Andi Kumala Idjo Karaeng Lembang Parang, putra Raja Gowa terakhir.  Ia diundang dalam kapasitas sebagai perwakilan turunan kapitan dan malesi yang berjuang bersama pada perang Kapahaha tahun 1637 hingga 1646.

MEMAKNAI
Menarik membaca tulisan Faidah. Ia mencoba mendekati PS dari perspektif postcolonialsme. Bahwa pada masyarakat yang pernah dijajah, yang merasa tertindas dan  kemudian memarginalkan diri, ada “teriakan” dan gejolak jiwa yang tak terdengar. Gejoka ini baru bisa terdengar, terbaca, bila dilakukan pemihakan. (Faidah; Ameks, 8 Oktober 2008)
Pembacaan saya terhadap gejolak itu kira-kira terbaca dari cara mereka mensikapi pukul sapu. Pertama, cukup menyelesaikan ritual sebagaimana biasa. Seperti tahun-tahun sebelumnya. Di sini, nampak ada penolakan terhadap unsure baru. Kedua, kesadaran untuk membuka diri, umumnya dimulai dengan mengangkat cerita heroic Perang Kapahaha dan Kepahlawanan Kapitan Telukabessy. Ketiga, ada arus tengah, menyatukan sikap pertama dan kedua secara bersamaan.

ISOLASI
Salah satu sikap masyarakat Morella menolak unsure luar adalah cerita para tetua tentang pemilihan lokasi negeri. Saat kalah perang, semua penduduk di negeri tua (Kapahaha, Iyal Uli, Putilessy dan Ninggareta, lokasi di pebukitan negeri Morella) diharuskan untuk membangun kampong di pesisir pantai oleh Belanda. Awalnya, mereka menetap di Sawatelu yang dibuktikan dengan dua kubur Raja di Sawatelu.
Namun, kehidupan di Sawatelu tidak memberi rasa aman, karena masih memungkinkan Belanda mengontrol, kapal Belanda masih bisa berlabuh depan negeri. Maka dipilih lokasi baru, yang tidak memungkinkan Belanda melabuhkan kapal. Lokasi itu, Morella sekarang.
Di masyarakat ada pemeo, Belanda itu kafir. Label kafir dalam masyarakat tradisional muslim adalah sesuatu hal tabu. Kondisi ini masih terus terjadi walau pemerintah sudah berganti, minimal hingga tahun 70-an.  Sikap tertutup bahkan merambah hingga memilih sekolah untuk anak mereka. Pelajar dan pemuda Morella  memilih bersekolah di madrasah, pesantren atau IAIN.
Morella yang “tertutup”, masih kita rasakan tahun 70-an. Jumlah PNS dan yang mengecap pendidikan umum sangat minim.  Padahal dari segi ekonomi mereka terus berkembang. Pertanian tanaman keras dan perdagangan hasil bumi tumbuh baik. Saat bersamaan mereka justru mengirim anak ke pesantren-pesantren di Makassar dan Jawa (baca; bukan sekolah umum). Sehingga negeri lain menjuluki Morella saat itu sebagai negeri “pali-pali” (negeri tikar, karena banyak berkutat dengan tahlilan dan sejenis). 
Selepas generasi itu (tahun 70-an),  pelajar, mahasiswa Morella baru mulai merambah pendidikan umum. Jumlah yang berminat menjadi PNS dan bersekolah di sekolah/PT umum makin meningkat. Era baru masyarakat Morella sudah dimulai.
Mengapa mereka memilih menutup diri?,  Secara perlahan mulai saya pahami ketika dekat dengan panitia Pukul Sapu, suka kongko-kongko dengan tetua negeri. Kepanitian yang terkesan asal menyelesaikan acara puncak, selesai sudah, menjadi bahan pemikiran saya.  Mungkinkah sikap para leluhur yang tidak mau banyak membuka diri masih mendapat tempat hari ini, pada generasi yang lebih muda?

FORUM KAJIAN SEJARAH
Obor Kapitan Telukabessy (foto: FKSB 2011)
Sisi kedua dalam mensikapi pukul sapu dengan pandangan berbeda, ditunjukkan oleh kelompok muda. Ide-ide segar untuk mengangkat kepahlawanan Kapitan Telukabessy dan heroiknya perang Kapahaha menjadi icon. Umumnya mereka adalah pelajar, mahasiswa dan pemuda yang mulai bersentuhan dengan dunia luar, pendidikan umum atau yang tinggal di luar Morella.
Kelompok masyarakat ini mulai temukan ruh lain dari pukul sapu. Kalau sejak awal, pukul sapu diawali oleh pembakaran obor Kapitan Telukabessy, maka mereka memberikan pemaknaan lebih dari sekedar obor. Obor adalah semangat memperjuangkan kepahlawanan Kapitan Telukabessy.  Pukul sapu, tidak sekedar ritual adat tahunan, lebih dari itu sebagai pemersatu dan jalan menuju pengakuan kebesaran perang Kapahaha.   
Gejolak positif ini dimaknai dengan berbagai kegiatan terstruktur. Pembentukan Forum Kajian Sejarah dan Budaya, diskusi Kepahlawanan Kapitan Telukabessy, membangun jaringan dengan – yang mereka namakan – anak cucu para pejuang Kapahaha, seperti membangun silaturrahmi dengan kerajaan Gowa, dll, membuat teatrikal perang Kapahaha, hingga aktif membuka jaringan dengan media elektronik untuk “menjual” Morella, memberikan pesan jelas bahwa benar mereka sedang berproses.
Teriakan sumbang Morella tentang nama Kapitan Telukabessy yang disalah tulis oleh Pemda Kota Ambon pada nama jalan menjadi Tulukabessy, atau pataka Kodam XVI Pattimura “Lawa Mena Haulala” yang murni digali oleh Nurtawainela cs (tahun 1965) dari pekik perang Telukabessy, yang kini disalah artikan dan dicaplok seakan itu pekik Pattimura, sudah masuk dalam agenda besar mereka. Dan ini saya baca sebagai pemaknaan mereka terhadap obor Kapitan Telukabessy.   
Sampai di sini, nampak  bahwa dengan proses yang sedang dilakoni, hanya menunggu canal, waktu yang pas dan keberpihakan pemerintah. Manakala itu terjadi, tidak mustahil teriakan sumbang akibat isolasi diri, perasaan marginal, lambat laun akan menjadi energy positif. 
Allahu A’lam bish shawab.

Durian Patah,  7 september 2011
Fuad Mahfud Azuz

Dikirim ke Radar via email tgl 7 september 2011

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger