Oleh
: Faidah Azuz-Sialana
(Alumnus Fakultas Pertanian UNPATTI, sekarang
mahasiswa S3 jurusan Sosiologi UGM Yogyakarta)
Pelantikan
raja adat di Maluku terutama di Kabupaten Maluku Tengah saat ini memperoleh
legitimasi bukan saja berasal dari lembaga adat lokal, tetapi juga dari level
di atasnya yakni pemerintah kabupaten dengan diberlakukannya Perda Kabupaten
Maluku Tengah Nomor 3 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, dan
Pelantikan Kepala Pemerintah Negeri.
Perda ini kemudian mengakomodasi kemungkinan munculnya kepala pemerintahan yang diangkat berdasarkan adat negeri setempat yang menurut adat tersebut kepala pemerintahan diangkat berdasarkan garis keturunan mata rumah. Terbaca dengan jelas bahwa bahwa Perda ini memungkinkan negeri-negeri adat kembali memiliki kepala pemerintahannya berdasarkan apa yang telah mereka lakoni sejak ratusan tahun yang lalu tetapi kemudian di”matikan” oleh pemerintah pusat melalui Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Perda ini kemudian mengakomodasi kemungkinan munculnya kepala pemerintahan yang diangkat berdasarkan adat negeri setempat yang menurut adat tersebut kepala pemerintahan diangkat berdasarkan garis keturunan mata rumah. Terbaca dengan jelas bahwa bahwa Perda ini memungkinkan negeri-negeri adat kembali memiliki kepala pemerintahannya berdasarkan apa yang telah mereka lakoni sejak ratusan tahun yang lalu tetapi kemudian di”matikan” oleh pemerintah pusat melalui Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Dalam
bacaan sepintas, terlihat bahwa dengan adanya penetapan kepala pemerintahan
berdasarkan adat negeri akan mematikan potensi demokrasi yang telah tumbuh
subur seiring dengan lahirnya reformasi. Argumennya adalah semua anak negeri
yang semula memiliki peluang menjadi raja di negerinya sendiri harus menelan
pil pahit lantaran mereka berasal dari mata rumah yang secara adat tidak
dimungkinkan memangku amanat sebagai pemimpin atau raja. Mereka yang cerdas,
inovatif dan memiliki visi yang brilian harus mundur dari kompetisi kepala
pemerintahan setempat lantaran terlahir dari mata rumah yang memiliki tugas dan
wewenang lain. Dalam tataran ini dapat dikatakan bahwa adat telah memangsa
potensi anak negerinya sendiri.
Situasi
di atas seakan mendapat dukungan penuh Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa yang membuka kran demokrasi sehingga raja atau kepala
pemerintahan desa dapat dipilih dari kalangan mana saja asalkan memenuhi
syarat-syarat administrasi yang telah ditetapkan. Bahkan jika memungkinkan, seseorang
yang bukan berasal dari negeri tersebut dapat saja memimpin masyarakat setempat
asalkan memiliki dukungan suara yang banyak.
Ketika
peraturan tersebut diberlakukan, secara administrasi, demokrasi mengalami
perjalanan yang sangat dinamis. Semua orang dalam sebuah desa memiliki peluang
yang sama untuk menjadi kepala pemerintahan. Adat menjadi institusi pendamping
bukan lagi menjadi sandaran utama dalam kerangka budaya lokal yang sarat nilai
historis dan harmonis itu. Akibatnya, banyak peristiwa-peristiwa adat mengalami
kemunduran bahkan mati suri. Salah satunya adalah budaya sasi. Sasi yang semula
pada sebagian negeri memiliki landasan adat tidak dapat dijalankan lantaran
pemimpin setempat tidak memiliki wewenang dan juga terjadi penurunan hasrat mempertahankan
adat sasi. Pada sebagian negeri, penerapan sasi mencari jalan lainnya yakni
menemui pemimpin institusi agama (gereja) untuk mendapat legitimasi. Sementara
pada negeri lain sasi hanya menjadi kenangan karena tidak dijalankan lagi. Hal
ini dikarenakan dalam budaya Maluku penerapan adat hanya dapat dilaksanakan
jika pemangkunya memiliki kapasitas untuk itu. Sementara pemimpin lokal yang
dipilih secara demokrasi administratif berdasarkan suara individu tidak
memiliki wewenang untuk menangani upacara-upacara adat. Pada perjalanan panjang
seperti inilah demokrasi terlihat memangsa adat lokal yang telah tertata sejak
lama. Demokrasi memainkan dua peran sekaligus, menghidupkan potensi individu
dan sekaligus mematikan budaya lokal.
Pengalaman
panjang yang dialami oleh masyarakat negeri Morella, sebuah negeri adat di
Pulau Ambon dalam konteks ini kiranya perlu diperhatikan dengan cara pembacaan
budaya yang lebih menukik lagi. Secara historis, negeri Morella mengangkat raja
secara adat terakhir pada tahun 1962 atau sekitar 51 tahun terakhir. Semua
orang Maluku tentu saja akan memaklumi bahwa yang dimaksud dengan dengan
pengangkatan raja adat adalah pengangkatan berdasarkan keturunan bukan
berdasarkan pemilihan (one man one vote). Setelah periode tersebut, negeri
Morella mulai memilih pemimpinnya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 5 tahun
1979 tentang Pemerintahan Desa yang berarti peluang memimpin negeri telah
terbuka untuk semua orang.
Sejak
saat itu, Morella memasuki masa demokrasi administrasi. Tetapi bersamaan dengan
itu, peran budaya lokal mengalami kemunduran yang cukup signifikan. Bahkan yang
cukup menyedihkan adalah masyarakat yang masih belajar demokrasi administratif
mengalami fragmentasi yang hebat. Mereka terpecah mengikuti alur pemenang
“raja”. Dalam situasi ini, tekanan-tekanan politik praktis yang masuk untuk
mendulang suara turut memperkeruh suasana. Masyarakat terbagi menurut afiliasi
partai dan fragmentasi ini berlangsung cukup panjang. Fragmentasi yang
berkepanjangan secara psikologis membuat masyarakat local menjadi rapuh.
Perkelahian antar desa yang tak berkesudahan dapat dilihat dalam konteks ini.
Suara raja bukan lagi didengar sebagai “tita” yang harus diikuti tetapi hanya
sebagai “penandatangan” beberapa surat yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Pengalaman
tersebut kemudian melahirkan kesadaran baru bagi masyarakat Morella. Hal ini
lahir karena pengalaman fragmentasi yang kental baik secara internal maupun
eksternal yang datang dari aktor pelakon politik praktis. Kesadaran tersebut
adalah keinginan masyarakat untuk kembali pada bentuk pemerintahan yang
dikendalikan dan ditetapkan secara adat. Konsekuensinya adalah kepala
pemerintahan atau raja mengerucut hanya pada mata rumah yang secara adat
memikul amanah raja atau menjadi “soa parenta”. Ketika keputusan menentukan
raja dari “soa parenta” diambil, terdapat beberapa fenomena yang menarik.
Pertama, terlihat antusiasme yang benar-benar massif di kalangan masyarakat
Morella. Memori individu saling bersusun membentuk memori kolektif untuk mendapatkan
format yang tepat tentang tata cara penetapan dan pelantikan raja adat. Hal ini
dimaklumi karena pelaksanaan penetapan dan pelantikan raja secara adat terakhir
berlangsung sekitar 51 tahun yang lalu. Kedua, lahirnya harapan di kalangan
masyarakat bahwa tumpukan memori kolektif tersebut pada tataran selanjutnya
akan melahirkan kesadaran baru untuk tetap mengedepankan budaya local tanpa
kehilangan revilatisasi kekinian. Ketiga, keputusan penetapan secara adat
mengakhiri friksi yang telah lama ada. Karena tidak ada pemilihan, maka
kelompok-kelompok afiliatif menjadi lebur. Semua potensi masyarakat tercurah
pada “Upu Latu Umarella” yang baru. Keempat, keputusan ini bukan lahir dalam
hitungan hari semata, tetapi dilandasi oleh pengalaman panjang lebih dari 50
tahun. Sehingga dapat dijadikan bahan pendalaman budaya bagi negeri lain.
Pertanyaan
yang perlu diajukan kemudian adalah apakah keputusan kembali pada penentuan
raja berdasarkan adat mematikan potensi demokrasi yang telah tumbuh selama ini?
Secara teoretik, demokrasi memiliki makna bahwa kuasa tertinggi berada di
tangan rakyat. Apa yang diingini oleh rakyat, itulah yang menjadi landasan
filosofi sebuah demokrasi. Sehingga ketika masyarakat negeri Morella
berdasarkan pengalaman panjang membuat keputusan untuk memiliki raja adat
sesungguhnya masyarakat negeri Morella sedang melakoni demokrasi yang sangat
mendasar dan tidak sekedar berada pada tataran demokrasi administrasi (by vote)
belaka. Disamping itu mereka juga tengah melaksanakan UUD 45 terutama pasal 18a
yakni menggunakan jaminan Negara atas hak-hak tradisionil masyarakt yang masih
hidup dan diakui.
Dengan
demikian ketika pemerintah di level yang lebih tinggi (pemerintah Kabupaten)
mengakomodasi kehendak masyarakat adat untuk kembali menata adat mereka
termasuk penetapan raja, maka secara tidak langsung pemerintah telah turut
menghidupkan demokrasi pada level yang lebih tinggi dan mendasar. Bukankah ini
merupakan contoh bagaimana sejatinya sebuah demokrasi ditegakkan?
________________
Tulisan ini
telah di muat pada rubric Opini Harian Ambon Ekspres, tanggal 22 April 2013.
Dimuat kembali untuk kepentingan edukasi
dan advokasi.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.